Minggu, 05 Maret 2017

Multikulturalisme dan Kearifan Universal



PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Multikulturalisme dan Kearifan Universal ”

 
DISUSUN OLEH : KELOMPOK IV
1.      RIMADANI ENDAH P.                         (E1E213165)
2.      ROBI’ATUL AZAKI                  (E1E213170)
3.      ROSIANA NURUL QOLBY     (E1E213171)
4.      RUSNIWATI                               (E1E213175)


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS MATARAM
2016



KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT. karena berkat rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan. Penulisan makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Multikultur yang berjudul “Multikulturalisme dan Kearifan Universal”
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk kami jadikan motivasi agar dapat membuat makalah yang lebih baik kedepannya.







                                                                                                Mataram,         Maret  2016




                                                                                                                        Penulis



DAFTAR ISI

Halaman Judul ………………………………………………………………………….  i
Kata Pengantar ………………………………………………………………………….  ii
Daftar Isi ………………………………………………………………………………..  iii

BAB I  Pendahuluan 
A.     Latar Belakang………………………………………………………………………1
B.     Rumusan Masalah…………………………………………………………………...2
C.     Tujuan …………….………………………………………………………………...2
D.     Manfaat…….………………………………………………………………………..2
BAB II Pembahasan
A.     Multikulturalisme dan kearifan universal...................................................................3
BAB III Penutup
A.     Kesimpulan..........................................................................................................  7
B.     Saran..................................................................................................................... 7

Daftar Pustaka ………………………………………………………………………………8





BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Pada dasarnya, kemajemukan dalam masyarakat Indonesia dapat dipahami sebagai bentuk dari perbedaan cara beradaptasi antar kelompok-kelompok yang berbeda secara ras, suku, bangsa, agama, dan bahasa, sehingga menjadikan kelompok-kelompok yang memiliki tingkat perkembangan kebudayaan, baik secara sosial, ekonomi, politik. Secara umum, keragaman atas sosial-budaya yang tegak di Indionesia ini dapat dideskripsikan dalam tiga aspek, yaitu : struktur kesukuan, distribusi wilayah agama, dan dari aspek tingkat pendidikan.
Keberagaman dalam konteks Nusantara menjadi konsep kesetaraan sesuai dengan konsep integrasi nasional dengan rumusan Bhineka Tunggal Ika yang artinya berdea-beda tetapi tetap satu jua. Untuk menyatukan keberagaman sosial-budaya bangsa yang salah satunya dapat kita lakukan dengan mengembangkan atau merumuskan kebudayaan yang bersifat nasional Indonesia.
Kestabilan dan keseimbangan dalam  menjalankan nilai-nilai yang sudah ada di Indonesia dapat pula dijadikan sebagai pemersatu bangsa ini. Sebab, manusia dengan segala kemampuan yang ada pada dirinya dapat dianggap sempurna, ketika tidak hanya kecenderungan pada melaksanakan  satu nilai saja yang dianggapnya benar dan mengabaikan nilai-nilai pemersatu bangsa lainnya. Karena apabila hal tersebut terjadi pada bangsa Indonesia yang kaya akan nilai-nilai, aturan dan budaya yang sifatnya mengikat dan harus dipatuhi maka, bangsa ini akan mudah goyah dan mudah terpecah belah.


B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan kajian dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah-masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
·         Apakah yang dimaksud dengan multikulturalisme dan kearifan universal?

C.    TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka makalah ini bertujuan untuk :
·         Untuk memahami  maksud  dari multikulturalisme dan kearifan universal.

D.    MANFAAT
Berdasarkan tujuan di atas, maka manfaat makalah ini bagi pembaca adalah sebagai berikut:
·         Setelah membaca makalah ini  pembaca dapat memahami tentang multikulturalisme dan kearifan universal.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Multikulturalisme dan Kearifan Universal
            Asal kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya.
            Multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural sebagai kemestian hidup yang kodrati, baik dalam kehidupan dirinya sendiri yang multidimensional maupun dalam kehidupan masyarakat yang lebih kompleks, dan karenanya muncul kesadaran bahwa keanekaragaman dalam realitas dinamik kehidupan adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak, diingkari, apalagi dimusnahkan (Musa Asy’arie, 2004).
           
            Persoalan muncul manakala dinamika perubahan dalam kehidupan masyarakat yang kompleks memunculkan konflik, yang dengan sendirinya akan mengguncang tatanan multikulturalisme. Apalagi jika konflik itu melebar menjadi perebutan hegemoni kekuasaan politik, ekonomi, wilayah dan harga diri yang berbasis pada suku, ras, agama, dan ideologi politik, maka multikulturalisme akan dipandang sebagai kearifan yang sia-sia, yang tidak bertanggung jawab dan tidak mencerminkan keberpihakan, sikap yang tidak realistik dan cermin dari lemahnya solidaritas.
         Multikulturalisme sesungguhnya tidaklah datang tiba-tiba. Sebagai suatu kearifan, multikultularisme sesungguhnya merupakan buah dari perjalanan intelektual yang panjang, setelah sekian lama bergulat dan  terlibat dalam berbagai gejolak dan konflik. Karena itu, multikulturalisme bukan barang dagangan untuk diperjualbelikan kepada funding seperti yang dituduhkan oleh sejumlah kalangan yang mencurigainya. Multikulturalisme adalah posisi intelektual yang menyatakan keberpihakannya pada pemaknaan terhadap persamaan, keadilan, dan kebersamaan, untuk memperkecil ruang konflik yang destruktif.
         Kecurigaan terhadap multikulturalisme di tengah maraknya konflik, ketidakadilan dan tajamnya kesenjangan dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum dan keagamaan seperti sekarang ini memang bisa dimengerti. Dalam setiap konflik sosial, apalagi yang berkembang menjadi kekerasan terbuka, akan muncul sikap-sikap yang hitam-putih, atau kita dan  mereka. Pada tahap ini, multikulturalisme akan dipandang oleh mereka yang terlibat dalam konflik sebagai sikap oportunistik, egoistik, tidak ada kepedulian, dan pertanda dari lemahnya kepercayaan pada Tuhan (iman).
         Karena itu, multikulturalisme memerlukan ruang dinamis untuk menguji kesahihan pemikirannya sendiri dengan mengajak dan membuka dialog dengan berbagai kalangan lintas agama, sosial, ekonomi, politik, budaya, sebagai manifestasi dari filosofi multikulturalisme itu sendiri yang selalu berusaha menjauh dari jebakan penyempitan wawasan paradigmatiknya. Melalui proses dialog itu, multikulturalisme akan menjadi proses pemikiran sintetik baru yang lebih sahih. Dalam penanamannya multikulturalisme akan menjadi proses pemikiran intelektual yang terus mengalir tanpa batas, karena membatasinya berlawanan dengan jiwa dan makna multikulturalisme itu sendiri. (setiawati).
         Tuntutan untuk mengambil sikap berpihak dalam konflik sosial yang multi dimensional semakin mengeras, ketika simbol-simbol agama mulai terseret dalam konflik itu. Sehingga, mereka yang tidak berpihak akan disudutkan sebagai orang yang lemah imannya, karena termakan oleh godaan kepentingan duniawi yang telah menguasai kehidupannya. Menurut mereka keberpihakan adalah panggilan agama, dan siapa yang ikhlas memenuhi panggilan itu akan mendapatkan surga, karena pengorbanan mereka. Kalau sampai orang tersebut menemui ajalnya, mereka dianggap mati syahid.
           Karena itu, multikulturalisme harus diletakkan pada posisinya yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Multikulturalisme seharusnya bukan ditempatkan pada posisi untuk keberpihakan negatif yang akan memperparah konflik sehingga makin meluas dan tak terkendali, tetapi pada keberpihakan positif untuk mencari solusi. Solusi tidak akan mungkin tercapai, jika pandangan multikulturalisme tidak dijiwai dengan baik.
           Multikulturalisme harus dibangun dengan berbasis pada pandangan filsafat yang memandang konflik sebagai fenomena permanen yang lahir bersama-sama dengan keanekaragaman dan perubahan yang dengan sendirinya selalu terbawa oleh kehidupan itu sendiri, di mana pun, kapan pun dan siapa pun. Multikulturalisme memandang bahwa adanya keanekaragaman, perubahan dan konflik sebagai sesuatu yang positif untuk memperkaya spiritualitas dan memperkuat iman. Dengan demikian, multikulturalisme seperti burung yang terbang mengangkasa dan melangit keluar dengan batas-batas keberpihakan yang destruktif, melintasi batas-batas konflik untuk memberikan solusi alternatif yang mencerdaskan dan mencerahkan.
         Pada tahap ini, multikulturalisme sesungguhnya menjadi anugerah dan rahmat bagi kehidupan semesta, karena kemungkinan harmoni kehidupan semesta itu tetap terjaga, lestari dan berkesinambungan dengan semangat berlomba-lomba dalam kebajikan dengan menumbuhkan persaingan yang sehat dan kreatif (fastabiqul al-khyirat). Sebagaimana ditegaskan dalam QS. 5:48, yang maknanya sebagai berikut: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu kami berikan aturan (syir’ah) dan jalan yang terang (minhaj). Sekiranya Allah SWT menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja). Tetapi, Allah hendak menguji kamu atas pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihan.”
         Multikulturalisme itu ibarat perjalanan mendaki puncak gunung untuk mendapatkan cakrawala pandangan yang amat luas sehingga tidak terpenjara dalam pandangan yang sempit. Bisa juga dikatakan sebagai perjalanan spiritual dan iman untuk menyatu dengan kesemestaan illahi dan melihat anugerah-Nya yang amat luas dan beraneka ragam yang komlpleks dalam kehidupan yang dinamis, dan kemudian membuahkan suatu kesalehan sosial yang aktual membangun harmoni kehidupan bersama-sama menghentikan kekerasan, penindasan dan fanatisme sempit.
         Pada tahapan ini, multikulturalisme sesungguhnya merupakan proses pengkayaan spiritual dan menjadi penjelmaan iman yang cerdas. Iman bukan kata benda, tetapi kata kerja: kreativitas dan moralitas. Iman pada hakikatnya merupakan proses penghayatan dan penjiwaan yang cerdas atas keanekaragaman yang tergenggam dalam sunatullah yang perkasa, sebagai penampakan kebesaran  ilahi, sehingga iman tidak berada dalam ruang yang seragam, statis dan  kosong, tetapi berada dalam keterlibatan yang kreatif dalam dinamika keanekaragaman, perubahan dan konflik, untuk menerangi jalan menuju ke masadepan kehidupan bersama yang lebih damai, sejahtera dan berkeadilan.
         Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah sekedar wacana tetapi realitas dinamik; bukan kata-kata, tetapi tindakan; bukan simbol kegenitan intelektual, tetapi keberpihakan yang cerdas untuk mencari solusi yang mencerahkan.


BAB III
PENUTUP
Ø  KESIMPULAN

                     Menurut Koentjaraningrat ada tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu: sistem religi, sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi, sistem peralatan hidup atau teknologi.
                     Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (politics of recognition) merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Multikulturalisme bukanlah sekedar wacana tetapi realitas dinamik; bukan kata-kata, tetapi tindakan; bukan simbol kegenitan intelektual, tetapi keberpihakan yang cerdas untuk mencari solusi yang mencerahkan.
                     Jadi, multikulturalisme bukan hanya sekedar wacana tetapi realitas dinamik; bukan kata-kata, tetapi tindakan; bukan simbol kegenitan intelektual, tetapi keberpihakan yang cerdas untuk mencari solusi yang mencerahkan.

Ø  SARAN
                     Sebagai warga Negara yang baik hendaknya kita saling menghormati dan menghargai dari segala jenis perbedaan yang kita miliki. Perbedaan harusnya untuk disyuruki sebagai tanda dari kekayaan bukan dijadikan sebagai alasan untuk permusuhan. Semua orang harus saling mengakui budaya satu dengan yang lain sebagai bentuk penghargaan, selama budaya tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama, nilai, norma, dan hukum yang berlaku di Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA
Mahfud, Choirul. 2011. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Belajar.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar