PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
“Multikulturalisme
dan Kearifan Universal ”
DISUSUN
OLEH : KELOMPOK IV
1. RIMADANI
ENDAH P. (E1E213165)
2. ROBI’ATUL
AZAKI (E1E213170)
3. ROSIANA
NURUL QOLBY (E1E213171)
4. RUSNIWATI
(E1E213175)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS MATARAM
2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT. karena berkat rahmat, taufik, dan hidayah-Nya
sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan. Penulisan makalah ini
diajukan untuk memenuhi tugas Multikultur yang berjudul “Multikulturalisme dan
Kearifan Universal”
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk
kami jadikan motivasi agar dapat membuat makalah yang lebih baik kedepannya.
Mataram, Maret
2016
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………………………………. i
Kata Pengantar
…………………………………………………………………………. ii
Daftar Isi ……………………………………………………………………………….. iii
BAB I Pendahuluan
A. Latar
Belakang………………………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………...2
C.
Tujuan …………….………………………………………………………………...2
D.
Manfaat…….………………………………………………………………………..2
BAB II Pembahasan
A. Multikulturalisme
dan kearifan universal...................................................................3
BAB III Penutup
A. Kesimpulan.......................................................................................................... 7
B. Saran.....................................................................................................................
7
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………………8
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pada dasarnya, kemajemukan dalam
masyarakat Indonesia dapat
dipahami sebagai bentuk dari
perbedaan cara beradaptasi antar
kelompok-kelompok yang berbeda secara ras, suku, bangsa, agama, dan bahasa,
sehingga menjadikan kelompok-kelompok yang memiliki tingkat perkembangan
kebudayaan, baik secara sosial, ekonomi, politik. Secara umum, keragaman atas
sosial-budaya yang tegak di Indionesia ini dapat
dideskripsikan dalam tiga aspek, yaitu : struktur kesukuan, distribusi wilayah
agama, dan dari aspek tingkat pendidikan.
Keberagaman dalam konteks Nusantara
menjadi konsep kesetaraan sesuai dengan konsep integrasi nasional dengan
rumusan Bhineka Tunggal Ika yang artinya berdea-beda tetapi tetap satu jua. Untuk menyatukan keberagaman
sosial-budaya bangsa
yang salah
satunya dapat
kita lakukan dengan mengembangkan atau merumuskan kebudayaan yang bersifat nasional
Indonesia.
Kestabilan dan keseimbangan dalam menjalankan nilai-nilai yang sudah ada di Indonesia dapat
pula dijadikan sebagai pemersatu bangsa ini. Sebab, manusia dengan
segala kemampuan yang ada pada dirinya dapat dianggap sempurna, ketika tidak
hanya kecenderungan pada
melaksanakan satu nilai saja yang dianggapnya benar dan
mengabaikan nilai-nilai pemersatu bangsa lainnya. Karena apabila hal tersebut terjadi
pada bangsa Indonesia yang kaya akan nilai-nilai, aturan dan budaya yang
sifatnya mengikat dan harus dipatuhi maka, bangsa ini akan mudah goyah dan
mudah terpecah belah.
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
kajian dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah-masalah dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
·
Apakah
yang dimaksud dengan multikulturalisme dan kearifan universal?
C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
maka makalah ini bertujuan untuk :
·
Untuk
memahami maksud dari multikulturalisme dan kearifan universal.
D. MANFAAT
Berdasarkan tujuan di atas, maka manfaat makalah ini bagi
pembaca adalah sebagai berikut:
·
Setelah
membaca makalah ini pembaca dapat
memahami tentang multikulturalisme dan kearifan universal.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Multikulturalisme
dan Kearifan Universal
Asal kata
multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme
dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham).
Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang
hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Dengan
demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab
untuk hidup bersama komunitasnya.
Multikulturalisme
adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas
fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika
seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat
realitas plural sebagai kemestian hidup yang kodrati, baik dalam kehidupan
dirinya sendiri yang multidimensional maupun dalam kehidupan masyarakat yang
lebih kompleks, dan karenanya muncul kesadaran bahwa keanekaragaman dalam
realitas dinamik kehidupan adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak,
diingkari, apalagi dimusnahkan (Musa Asy’arie, 2004).
Persoalan
muncul manakala dinamika perubahan dalam kehidupan masyarakat yang kompleks
memunculkan konflik, yang dengan sendirinya akan mengguncang tatanan
multikulturalisme. Apalagi jika konflik itu melebar menjadi perebutan hegemoni
kekuasaan politik, ekonomi, wilayah dan harga diri yang berbasis pada suku,
ras, agama, dan ideologi politik, maka multikulturalisme akan dipandang sebagai
kearifan yang sia-sia, yang tidak bertanggung jawab dan tidak mencerminkan
keberpihakan, sikap yang tidak realistik dan cermin dari lemahnya solidaritas.
Multikulturalisme
sesungguhnya tidaklah datang tiba-tiba. Sebagai suatu kearifan,
multikultularisme sesungguhnya merupakan buah dari perjalanan intelektual yang
panjang, setelah sekian lama bergulat dan terlibat dalam berbagai gejolak
dan konflik. Karena itu, multikulturalisme bukan barang dagangan untuk
diperjualbelikan kepada funding seperti yang dituduhkan oleh sejumlah
kalangan yang mencurigainya. Multikulturalisme adalah posisi intelektual yang
menyatakan keberpihakannya pada pemaknaan terhadap persamaan, keadilan, dan
kebersamaan, untuk memperkecil ruang konflik yang destruktif.
Kecurigaan
terhadap multikulturalisme di tengah maraknya konflik, ketidakadilan dan
tajamnya kesenjangan dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, sosial,
ekonomi, politik, budaya, hukum dan keagamaan seperti sekarang ini memang bisa
dimengerti. Dalam setiap konflik sosial, apalagi yang berkembang menjadi
kekerasan terbuka, akan muncul sikap-sikap yang hitam-putih, atau kita dan
mereka. Pada tahap ini, multikulturalisme akan dipandang oleh mereka yang
terlibat dalam konflik sebagai sikap oportunistik, egoistik, tidak ada
kepedulian, dan pertanda dari lemahnya kepercayaan pada Tuhan (iman).
Karena itu,
multikulturalisme memerlukan ruang dinamis untuk menguji kesahihan pemikirannya
sendiri dengan mengajak dan membuka dialog dengan berbagai kalangan lintas
agama, sosial, ekonomi, politik, budaya, sebagai manifestasi dari filosofi
multikulturalisme itu sendiri yang selalu berusaha menjauh dari jebakan
penyempitan wawasan paradigmatiknya. Melalui proses dialog itu,
multikulturalisme akan menjadi proses pemikiran sintetik baru yang lebih sahih.
Dalam
penanamannya multikulturalisme akan
menjadi proses pemikiran intelektual yang terus mengalir tanpa batas, karena
membatasinya berlawanan dengan jiwa dan makna multikulturalisme itu sendiri.
(setiawati).
Tuntutan untuk
mengambil sikap berpihak dalam konflik sosial yang multi dimensional semakin mengeras,
ketika simbol-simbol agama mulai terseret dalam konflik itu. Sehingga, mereka
yang tidak berpihak akan disudutkan sebagai orang yang lemah imannya, karena
termakan oleh godaan kepentingan duniawi yang telah menguasai kehidupannya.
Menurut mereka keberpihakan adalah panggilan agama, dan siapa yang ikhlas
memenuhi panggilan itu akan mendapatkan surga, karena pengorbanan mereka. Kalau
sampai orang tersebut menemui ajalnya, mereka dianggap mati syahid.
Karena itu,
multikulturalisme harus diletakkan pada posisinya yang tepat, apalagi ketika
menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan.
Multikulturalisme seharusnya bukan ditempatkan pada posisi untuk keberpihakan
negatif yang akan memperparah konflik sehingga makin meluas dan tak terkendali,
tetapi pada keberpihakan positif untuk mencari solusi. Solusi tidak akan
mungkin tercapai, jika pandangan multikulturalisme tidak dijiwai dengan baik.
Multikulturalisme
harus dibangun dengan berbasis pada pandangan filsafat yang memandang konflik
sebagai fenomena permanen yang lahir bersama-sama dengan keanekaragaman dan
perubahan yang dengan sendirinya selalu terbawa oleh kehidupan itu sendiri, di
mana pun, kapan pun dan siapa pun. Multikulturalisme memandang bahwa adanya
keanekaragaman, perubahan dan konflik sebagai sesuatu yang positif untuk
memperkaya spiritualitas dan memperkuat iman. Dengan demikian,
multikulturalisme seperti burung yang terbang mengangkasa dan melangit keluar
dengan batas-batas keberpihakan yang destruktif, melintasi batas-batas konflik
untuk memberikan solusi alternatif yang mencerdaskan dan mencerahkan.
Pada tahap ini,
multikulturalisme sesungguhnya menjadi anugerah dan rahmat bagi kehidupan
semesta, karena
kemungkinan
harmoni kehidupan semesta itu tetap terjaga, lestari dan berkesinambungan
dengan semangat berlomba-lomba dalam kebajikan dengan menumbuhkan persaingan
yang sehat dan kreatif (fastabiqul al-khyirat). Sebagaimana ditegaskan
dalam QS. 5:48, yang maknanya sebagai berikut: “Untuk tiap-tiap umat di antara
kamu kami berikan aturan (syir’ah) dan jalan yang terang (minhaj).
Sekiranya Allah SWT menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja).
Tetapi, Allah hendak menguji kamu atas pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihan.”
Multikulturalisme
itu ibarat
perjalanan mendaki puncak gunung untuk mendapatkan cakrawala pandangan yang
amat luas sehingga tidak terpenjara dalam pandangan yang sempit. Bisa juga
dikatakan sebagai perjalanan spiritual dan iman untuk menyatu dengan
kesemestaan illahi dan
melihat anugerah-Nya yang amat luas dan beraneka ragam yang komlpleks dalam
kehidupan yang dinamis, dan kemudian membuahkan suatu kesalehan sosial yang
aktual membangun harmoni kehidupan bersama-sama menghentikan kekerasan,
penindasan dan fanatisme sempit.
Pada tahapan
ini, multikulturalisme sesungguhnya merupakan proses pengkayaan spiritual dan
menjadi penjelmaan iman yang cerdas. Iman bukan kata benda, tetapi kata kerja:
kreativitas dan moralitas. Iman pada hakikatnya merupakan proses penghayatan
dan penjiwaan yang cerdas atas keanekaragaman yang tergenggam dalam sunatullah
yang perkasa, sebagai penampakan kebesaran ilahi, sehingga iman tidak
berada dalam ruang yang seragam, statis dan kosong, tetapi berada dalam
keterlibatan yang kreatif dalam dinamika keanekaragaman, perubahan dan konflik,
untuk menerangi jalan menuju ke masadepan kehidupan bersama yang lebih damai,
sejahtera dan berkeadilan.
Oleh karena
itu, multikulturalisme bukanlah sekedar wacana tetapi realitas dinamik; bukan
kata-kata, tetapi tindakan; bukan simbol kegenitan intelektual, tetapi
keberpihakan yang cerdas untuk mencari solusi yang mencerahkan.
BAB III
PENUTUP
Ø KESIMPULAN
Menurut
Koentjaraningrat ada tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu: sistem religi, sistem
kemasyarakatan atau organisasi sosial, sistem pengetahuan, bahasa,
kesenian, sistem mata
pencaharian hidup atau sistem ekonomi, sistem peralatan hidup atau teknologi.
Akar kata
multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme
dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham).
Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang
hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Dengan
demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab
untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap
kebutuhan untuk diakui (politics of recognition) merupakan akar dari
segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Multikulturalisme
bukanlah sekedar wacana tetapi realitas dinamik; bukan kata-kata, tetapi
tindakan; bukan simbol kegenitan intelektual, tetapi keberpihakan yang cerdas
untuk mencari solusi yang mencerahkan.
Jadi,
multikulturalisme bukan
hanya sekedar wacana tetapi realitas dinamik; bukan kata-kata, tetapi tindakan;
bukan simbol kegenitan intelektual, tetapi keberpihakan yang cerdas untuk mencari
solusi yang mencerahkan.
Ø SARAN
Sebagai
warga Negara yang baik hendaknya kita saling menghormati dan menghargai dari
segala jenis perbedaan yang kita miliki. Perbedaan harusnya untuk disyuruki
sebagai tanda dari kekayaan bukan dijadikan sebagai alasan untuk permusuhan.
Semua orang harus saling mengakui budaya satu dengan yang lain sebagai bentuk
penghargaan, selama budaya tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama,
nilai, norma, dan hukum yang berlaku di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Mahfud,
Choirul. 2011. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar